Uncategorized

Arsip Negara: Siapa yang Layak Dikenang?

181
×

Arsip Negara: Siapa yang Layak Dikenang?

Sebarkan artikel ini

Oleh: H. Andi Ahmad Saransi

Ketika kita mendengar kata arsip, yang terbayang sering kali hanyalah tumpukan map, lemari besi, atau server digital yang sunyi. Arsip dianggap urusan teknis, administratif, bahkan membosankan. Padahal, di balik dokumen-dokumen itu tersimpan satu pertanyaan penting: siapa yang layak dikenang oleh &negara?

Sejak awal, arsip tidak pernah benar-benar netral. Ia lahir dari kekuasaan dan untuk kepentingan kekuasaan. Negara mencatat, menyimpan, dan menyelamatkan dokumen tertentu, tetapi pada saat yang sama membiarkan dokumen lain hilang. Proses ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari cara negara mengatur ingatan kolektifnya.

Dalam sistem kearsipan Indonesia, pengaturan ini tampak jelas melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan turunannya berupa Jadwal Retensi Arsip (JRA). Lewat JRA, negara menentukan berapa lama sebuah arsip disimpan, kapan dimusnahkan, dan arsip mana yang dianggap layak diselamatkan selamanya sebagai arsip statis yang kelak menjadi sumber sejarah.

Secara teori, arsip dinilai berdasarkan nilai gunanya: nilai administratif, hukum, keuangan, serta nilai sejarah. Namun dalam praktik, penilaian nilai sejarah itu sangat dipengaruhi oleh posisi jabatan. Hal ini terlihat nyata pada pengelolaan arsip kepegawaian.

Dalam ketentuan JRA, arsip kepegawaian yang dinyatakan bernilai permanen umumnya hanya milik pejabat pimpinan tinggi pratama atau Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Arsip mereka, seperti surat keputusan pengangkatan, pemberhentian, dan riwayat jabatan strategis dianggap memiliki nilai sejarah jangka panjang. Sementara itu, arsip kepegawaian ribuan pegawai di bawahnya diperlakukan sebagai Arsip Inaktif, yang setelah jangka waktu tertentu dapat dimusnahkan.

Kebijakan ini mengandung pesan yang sederhana namun kuat: yang diingat oleh negara adalah para pengambil keputusan di puncak birokrasi. Negara memilih untuk mengabadikan jejak elite struktural, bukan kerja kolektif aparatur yang setiap hari menjalankan kebijakan di lapangan.

Dengan demikian, arsip bukan hanya soal menyimpan dokumen, tetapi juga soal memilih ingatan. Arsip menjadi alat seleksi sejarah. Negara menentukan aktor mana yang layak masuk dalam ingatan resmi dan aktor mana yang dianggap cukup dilupakan.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Dalam sejarah kerajaan dan kekuasaan tradisional, yang dicatat adalah titah raja, silsilah bangsawan, dan perjanjian elite. Kehidupan rakyat kebanyakan jarang masuk catatan resmi. Birokrasi modern, meskipun dibungkus bahasa rasional dan prosedural, ternyata masih menyimpan logika serupa: arsip mengikuti struktur kekuasaan.

Tentu, dari sudut pandang administrasi, kebijakan ini dapat dimengerti. Arsip pejabat tinggi dianggap memiliki dampak kebijakan yang luas dan nilai pembuktian yang kuat. Tidak semua arsip memang bisa disimpan selamanya. Negara perlu memilih.

Namun, persoalannya bukan sekadar efisiensi. Persoalannya adalah cara kita memahami sejarah dan memori institusi. Jika arsip hanya merekam jejak pimpinan, maka sejarah birokrasi akan selalu tampil dari atas ke bawah. Padahal, wajah pemerintahan sehari-hari justru dibentuk oleh kerja kolektif para pegawai di berbagai level.

Ketika arsip kepegawaian mereka dihapus dari memori permanen negara, yang hilang bukan hanya kertas atau file digital, melainkan cerita tentang bagaimana kebijakan dijalankan, bagaimana negara bekerja dalam praktik, dan bagaimana manusia di dalam birokrasi berinteraksi dengan masyarakat.

Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa setiap keputusan tentang penyimpanan dan pemusnahan arsip adalah keputusan tentang ingatan. Arsip tidak pernah sepenuhnya teknis; ia selalu memuat pilihan politik, meskipun dibungkus dalam bahasa regulasi.

Jika kearsipan ingin lebih dari sekadar urusan administrasi, maka perlu ada keberanian untuk melihat arsip sebagai ruang refleksi bersama. Arsip seharusnya tidak hanya menjadi monumen sunyi para pejabat tinggi, tetapi juga cermin perjalanan institusi secara utuh.

Selama arsip permanen hanya dilekatkan pada puncak kekuasaan, selama itu pula ingatan negara akan timpang. Tajam mencatat yang di atas, tetapi samar terhadap yang bekerja di bawah. Dan selama itu pula, arsip akan lebih setia kepada kekuasaan daripada kepada sejarah.

H. Andi Ahmad Saransi Koordinator Asosiasi Arsiparis Indonesia Wil. Sulawesi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page