Uncategorized

Spot Light “Maujud Budaya”-MBS

108
×

Spot Light “Maujud Budaya”-MBS

Sebarkan artikel ini

Spot Light “Maujud Budaya”-MBS

SIRIK BUGIS, SIRIK MAKASSAR: SAMA

Oleh Mahrus Andis

  Tiga tulisan saya, secara bersambung di media sosial, mendapat perhatian dari kalangan peminat budaya, baik dalam daerah maupun di luar Sulawesi Selatan. Tulisan bertema Sirik na PaccE tersebut merupakan intisari pembahasan saya ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Maujud Budaya, oleh komunitas Mitologi Bumi Sulawesi (MBS) yang berlangsung 26 April 2025 di Malino, Kabupaten Gowa.
  Isra DS MBS, salah seorang tokoh pegiat budaya di komunitas itu menyampaikan beberapa tanggapan yang sempat muncul terhadap tulisan saya dimaksud. Ada yang salut, ada yang menyanggah dan ada pula yang memberikan pendapat dalam bentuk membandingkan. Sebagai pencerahan, sekaligus mengaktualkan kembali pengetahuan masa silam yang pernah diperoleh di bangku fakultas Sastra Unhas, 1977-1984, maka saya menuliskan beberapa penjelasan singkat menyangkut hal ini.
  Untuk membahas makna filosofis sirik (Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar) maka kita harus mempunya referensi bacaan yang cukup. Minimal harus membaca buku atau tulisan dari para ahlinya, seperti: Prof. Mattulada, Prof. Abu Hamid, Prof. A. Zainal Abidin, Prof. A. Rasdiyanah, Prof.C.Salombe, H. DaEng Mangemba (Peneliti Budaya), Prof. Kadir Manyombeang, M. Anwar Ibrahim (Pemikir Budaya), Baharuddin Lopa (pengamat budaya) dan Prof. Nurhayati Rahman.  Semua nama yang saya sebut ini sering saya baca tulisan dan mendengar langsung penjelasan mereka, baik di kampus maupun di forum-forum diskusi di Dewan Kesenian Makassar (DKM), sejak 1970-an.

Siapa pun Ahli Budaya lokal yang membahas tentang Sirik na PaccE pasti sama pemahamannya dengan apa yang saya tulis. Hanya cara mengolah bahasa yang membedakan stil penulisan. Artinya, makna Sirik bagi orang Makassar, sama dengan makna Sirik bagi orang Bugis. Itu pulalah yang menjadi dasar pertimbangan sehingga para Ahli Budaya (termasuk beberapa nama yang saya sebut di atas) sering menggabungkan penulisan kata Bugis dan Makassar menjadi “Bugis-Makassar”. Maksudnya bahwa dua suku (suku Bugis dan suku Makassar) dipersatukan oleh budaya yang sama.
Di Bugis juga ada yang disebut: sirik-sirik, ripakasirik, tau masirik atau mappakasirik-sirik. Makna filosofisnya tidak berbeda dengan apa yang dipahami oleh orang Makassar. Demikian juga makna “PaccE” bagi Makassar, sama dengan apa yang dipahami di Bugis. Hanya penulisannya yg berbeda (PaccE-Makassar dan PessE-Bugis).
Menyentuh penulisan kata Sirik (atau Siriq), keduanya dipakai dalam ilmu Bahasa Daerah. Dulu, memang ditulis SIRI’, tapi para Ahli Bahasa dan Filolog sepakat tidak menggunakan tanda apostrof atau glottal stop (‘) dalam penulisan latin, karena tanda tersebut tidak mewakili sebuah fonem (huruf). Saya kadang-kadang menuliskan “Sirik” (dengan huruf “k”), kadang pula menulis “Siriq” (dengan huruf “q”).
Tanggapan yang paling penting diluruskan adalah tentang penyamaan kata “syirik” dengan “sirik”.
Di dalam istilah agama, ada yang disebut “Syirik” (bukan SIRIK, melainkan SYIRIK). Kata ini berasal dari bahasa Arab yaitu, syirik’ (شِرْكٌ) dari kata ‘syarika’ (شَرِكَ) yang berarti: berserikat atau bersekutu.
Syirik artinya menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Dalam Bahasa Bugis disebut mappaddua (lawan kata dari mappassEuwa). Kata mmappassEuwa ini tidak boleh disamakan artinya dengan “mappasEddi”, sebab makna kata ini ialah menyatukan. Allah SWT adalah Zat Yang Mahasatu (Mahaesa), tak mungkin disatukan. Dalam Bahasa Makassar, mungkin juga ada istilah lain tentang itu. Biasanya para Ahli Tarikat memahami hal ini.
Yang jelas, dari dimensi agama, Sirik na paccE atau sirik na pessE selevel dengan pengertian “harkat kemanusiaan” (ahsani taqwim) dan “kepedulian sosial” (hablin minannaas). Bahkan, di dalam forum Maujud Budaya saat itu, oleh moderator, berhasil disimpulkan bahwa sirik na paccE adalah inti kesadaran manusia dalam eksistensinya sebagai mahluk yang mulia, di atas landasan prinsip “hablin minallahi wa hablin minannaas i”.
Demikian catatan kecil yang sempat saya kemukakan. Semoga catatan ini bisa mengantar pikiran kita untuk lebih jauh dan lebih dalam memahami makna filosofis sirik na paccE atau sirik na pessE sebagai kekayaan rohani yang sangat berharga bagi kita di negeri ini, khususnya masyarakat Bugis dan Makassar.
Wallahu a’lamu bishawab.

Mks, 5 Mei 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page