
JAKARTA-Breakingsulsel.com.id
Konferensi Kabupaten (Konferkab) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Soppeng 2025 berakhir dengan deadlock, memicu sorotan terhadap independensi organisasi. Acara yang berlangsung pada Kamis (24/8) di Watansoppeng ini diwarnai perdebatan sengit terkait rekomendasi dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan dugaan pelanggaran Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD PRT) PWI.
Sidang Pleno III yang dipimpin oleh Ir. H. Abd. Manaf Rachman dari PWI Sulsel, didampingi A. Syukur (SC) dan Fas Rachmat Kami (Peserta) dengan agenda pemilihan Ketua PWI Kabupaten Soppeng Masa Bakti 2025-2028, menemui jalan buntu. Dua kandidat, Alimuddin dan Jumawi, memperoleh suara imbang 7-7, bahkan setelah dua kali pemungutan suara.
Situasi ini mendorong lahirnya Pakta Integritas, yang mengharuskan kedua calon mendapatkan rekomendasi dari pihak eksternal sebagai bahan pertimbangan PWI Sulsel. Salah satu pimpinan sidang, Gas Rachmat Kami, menyoroti bahwa rekomendasi dari Pemda dapat mengancam teramputasinya independensi wartawan.
“Dengan rekomendasi Pemda yang dijadikan dasar pengambilan keputusan, independensi wartawan bisa teramputasi,” ujar Rachmat di Jakarta saat sedang menjemput 8 wartawan PWI Soppeng yang baru saja tiba dari Makassar (27 /8).
Selain itu, Rachmat juga menyoroti adanya perubahan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dianggap tidak sesuai dengan aturan organisasi. Awalnya, terdapat 12 anggota PWI dengan KTA Biasa yang masuk DPT. Namun, pada Sidang Pleno III, jumlah tersebut bertambah menjadi 14, meskipun dua anggota tambahan tidak dapat menunjukkan KTA fisik sesuai tata tertib.
Rachmat mengungkapkan bahwa peserta tidak melakukan sanggahan saat itu karena Ketua Sidang ketika itu Urusan Provinsi menghubungi Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch. Bangun, melalui telepon. Namun, Rachmat meragukan kebenaran percakapan tersebut, mengingat adanya dugaan pelanggaran tata tertib.
Kontroversi lain muncul terkait dengan salah satu calon ketua yang hanya berijazah SMP. Rachmat mempertanyakan mengapa berkas calon tersebut diloloskan, padahal PD PRT PWI mensyaratkan minimal ijazah SLTA untuk menjadi anggota PWI Muda, apalagi untuk menduduki posisi ketua. Keabsahan sertifikat dan Kartu Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilampirkan juga turut dipertanyakan.
Selalu peserta, mendesak PWI Pusat untuk turun tangan menanggapi polemik ini. Ia merujuk pada surat yang dikirim oleh Ketua Steering Committee, A. Syukur, kepada Ketua Umum PWI Pusat dan Ketua Dewan Pers pada 22 Agustus 2025. Dari 10 Anggota PWI Biasa yang bertandatangan pada surat tersebut, Rachmat juga mengaku kalau dirinya adalah salah satu di antaranya.
“Jika ini dibenarkan, PWI Provinsi dan PWI Pusat dapat dinilai sebagai pemicu pelanggaran PD PRT PWI,” tegas Rachmat. Ia menambahkan bahwa PD PRT merupakan konstitusi organisasi yang hanya dapat diubah melalui Kongres, bukan melalui keputusan lisan Ketua Umum.
Rachmat menekankan bahwa PWI Soppeng tidak boleh dipimpin oleh ketua yang hanya berijazah SMP, karena hal ini akan menjadi preseden buruk. “Di Soppenglah satu-satunya daerah kabupaten yang Ketua PWI-nya hanya berijazah SMP,” pungkasnya.
(tim)