Oleh: Ahmad Saransi
@sorotan
Seorang teman dari Bone mengirimkan kepada saya sebuah foto sederhana: papan nama jalan di Desa Tetewatu, Soppeng. Tertulis jelas di sana Jalan Andi Saransi Umar. Tak lama kemudian, sebuah pesan menyusul, singkat namun penuh rasa ingin tahu: “Apakah itu nama keluargamu?”
Saya menjawab dengan singkat pula, nyaris tanpa penjelasan: “Itu nama orang tua saya.”
Namun rasa penasaran rupanya belum selesai. Pertanyaan berikutnya datang, lebih mendalam dan justru terasa berat: “Apa jasa-jasanya sampai namanya diabadikan menjadi nama jalan di sini?”
Pertanyaan itu bukan sulit karena tidak ada jawabannya, melainkan karena saya menyadari posisi saya yang terlalu dekat dengan nama tersebut. Kekhawatiran akan terjadi subjektivitas membuat saya memilih satu jalan aman dengan menjawab berdasarkan fakta-fakta sejarah, bukan hubungan darah.

Andi Saransi Umar memulai pengabdiannya dari bawah, sebagai juru tulis di Distrik Lompengeng di bawah kepemimlinan Petta Bau Cubbe selaku Arung Lompengeng), sebuah posisi yang pada masanya menjadi tulang punggung administrasi pemerintahan lokal. Dari sana, pada tahun 1939 hingga 1951, ia dipercaya sebagai Matowa Paroto, peran penting dalam struktur pemerintahan tradisional Bugis.
Gejolak revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonsia 1945 ia bersama sepupunya Andi Machmud terlibat mempertahankan kemerdekaan RI sehingga dia dianegrahi Veteran Pejuang RI.
Pada Desember 1951, ketika Andi Baru Sulewatang Lompengeng sakit, Andi Saransi Umar ditunjuk menggantikannya sebagai Sulewatang Lompengeng. Kepercayaan itu bukan sekadar penunjukan administratif, melainkan pengakuan atas kapasitas dan integritasnya.
Perjalanan pengabdiannya berlanjut. Pada tahun 1957 ia ditunjuk penjabat Kepala Wanua Lilirilau hinggal awal tahun 1958. Tanggal 4 Januari 1961, ia ditetapkan sebagai Penjabat Kepala Wanua Lilirilau. Dan ketika struktur pemerintahan lokal mengalami perubahan, ia kembali dipercaya memimpin: sejak 1968 hingga 1978, ia menjabat sebagai Kepala Desa Tetewatu.
Selama memimpin Wanua Tetewatu hingga wilayah itu resmi berubah menjadi Desa Tetewatu jejak pengabdiannya terlihat nyata. Di bidang pendidikan, ia mendorong dan merealisasikan pembangunan satu Taman Kanak-Kanak dan enam Sekolah Dasar, yaitu SD Tetewatu, SD Palero, SD Bila, SD Palangiseng, SD Paroto dan SD Marale sebuah langkah visioner di masa ketika akses pendidikan masih sangat terbatas di pedesaan.
Di bidang perekonomian, ia memprakarsai pembentukan Koperasi Simpan Pinjam Tetewatu, sebuah wadah ekonomi rakyat yang menjadi cikal bakal lahirnya banyak pelaku usaha lokal. Dari koperasi inilah tumbuh para entrepreneur desa seperti H. Haming yang lebih dikenal dengan nama H. Ambo Sitti, Ponggawa Bollu, H. Hamma, H. Damang, Hj. I Majja dan sejumlah nama lain yang ikut menggerakkan roda ekonomi masyarakat Tetewatu dan Kecamatan Lilirilau.
Maka, ketika nama Andi Saransi Umar kini terpasang sebagai nama jalan di Desa Tetewatu, ia bukan sekadar penanda geografis. Ia adalah penanda ingatan kolektif tentang pengabdian yang panjang, kerja sunyi yang konsisten, dan warisan yang hidup dalam pendidikan, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakatnya.
Dan saya, sebagai anak, memilih berdiri sedikit ke belakang untuk mengambil jarak,
membiarkan sejarah yang berbicara.












