Oleh : Syukur Mariorante Katalawala
Kita sedang menyaksikan sesuatu yang lebih berbahaya daripada pelanggaran prosedur. Kita sedang menyaksikan pers yang perlahan menyerahkan dirinya sendiri.
Jika tak ada aral melintang, Senin, 22 Desember 2025, sebuah ruang negara akan menjadi altar legitimasi. Di ruang Pola Kantor Bupati Soppeng, Persatuan Wartawan Indonesia akan melantik ketua Kabupatennya. Seremoni ini tampak biasa. Undangan resmi. Pejabat hadir. Simbol kekuasaan lengkap.
Namun justru di situlah kita harus berhenti dan bertanya: sejak kapan pers membutuhkan ruang negara untuk mengesahkan dirinya?
Kasus PWI Soppeng bukan perkara ijazah SMP, perbedaan nama, atau deadlock pemilihan. Itu hanya gejala. Penyakit sesungguhnya adalah runtuhnya keyakinan pers pada aturannya sendiri. Ketika syarat pendidikan yang tertulis jelas dalam Peraturan Dasar dan Rumah Tangga dapat dilangkahi, kita tidak sedang menghadapi kelalaian. Kita sedang menyaksikan pembangkangan terhadap disiplin profesi.
Dan pembangkangan itu dibiarkan.
Kita lalu menyaksikan bagaimana simbol kompetensi—sertifikat Uji Kompetensi Wartawan—digunakan sebagai tameng legitimasi, meski syarat formal untuk memperolehnya patut dipertanyakan. Ketika etika digantikan atribut, pers berhenti menjadi institusi moral dan berubah menjadi pemilik tanda pengenal.
Lebih jauh, ketidakjelasan identitas dibiarkan tanpa koreksi. Nama berbeda di ijazah, kartu anggota, dan sertifikat kompetensi tidak dianggap masalah. Dalam praktik jurnalistik, ini adalah dosa fatal. Dalam organisasi, ia ditoleransi. Di sinilah standar ganda bekerja: pers keras ke luar, lunak ke dalam.
Namun krisis ini tidak berhenti di dalam. Ia merembes ke relasi dengan kekuasaan.
Proses Konferensi Kabupaten PWI Soppeng memperlihatkan bagaimana aturan internal bisa ditekuk melalui otoritas struktural. Daftar pemilih berubah di hari pelaksanaan. Keabsahan ditentukan lewat sambungan telepon, bukan mekanisme tertulis. Demokrasi digeser dari sistem ke figur. Dari prinsip ke kekuasaan.
Ketika kebuntuan suara muncul, ia tidak dijadikan alasan untuk membersihkan proses, melainkan untuk melompat ke tingkat yang lebih tinggi. Struktur dipanggil untuk menutup cacat, bukan untuk memperbaikinya. Inilah logika organisasi yang telah kehilangan keberanian etik: jika aturan gagal, cari legitimasi lain.
Legitimasi itu datang dari negara.
Rekomendasi pihak eksternal, bahkan dari unsur pemerintah daerah, dimasukkan ke dalam proses organisasi pers. Ini bukan kesalahan teknis. Ini pilihan politik. Pers berhenti menjaga jarak dan mulai mencari restu. Dalam relasi ini, pers tidak lagi berdiri sejajar dengan kekuasaan. Ia berdiri di bawahnya.
Sejak kelahirannya, pers tidak diciptakan untuk nyaman. Ia lahir untuk menjaga jarak, untuk mengganggu, untuk bertanya, untuk curiga. Jarak itu bukan sikap permusuhan, melainkan syarat kemerdekaan. Ketika pers memendekkan jarak demi stabilitas organisasi, yang hilang bukan hanya independensi, tetapi juga fungsi sosialnya.
Kasus Soppeng menunjukkan perubahan yang lebih dalam: pers tidak lagi percaya bahwa integritas cukup untuk memberi legitimasi. Ia membutuhkan panggung negara, kehadiran pejabat, dan stempel kekuasaan agar merasa sah. Di titik ini, pers berhenti menjadi pengawas dan mulai menjadi bagian dari arsitektur legitimasi.
Kita harus mengatakan ini dengan jujur: pers yang meminjam legitimasi negara sedang mempersiapkan dirinya untuk dibungkam. Bukan oleh sensor, tetapi oleh ketergantungan.
Kini tanggung jawab berada di tangan PWI Pusat. Bukan untuk menyelamatkan satu kepengurusan, melainkan untuk menentukan apakah pers masih ingin berdiri sebagai institusi merdeka. Menegakkan aturan mungkin menyakitkan. Tapi menegosiasikannya adalah bunuh diri perlahan.
Tidak ada pers yang bebas tanpa disiplin pada aturannya sendiri.
Tidak ada independensi yang lahir dari rekomendasi kekuasaan.
Dan tidak ada marwah yang bisa diselamatkan dengan seremonial.
Jika hari ini kita membiarkan pers menyerahkan dirinya, maka esok hari kita tidak lagi berhak menyebut diri sebagai penjaga kepentingan publik.












