Bali
targettuntas.com -- Tinjauan ulang kebijakan Cut of Date 1994 lembaga sertifikasi kehutanan Forest Stewardship Council (FSC) bisa memberi insentif untuk aktivitas aforestasi dan reforestasi di dalam konsesi hutan tanaman maupun areal perhutanan perhutanan sosial.
Dalam konteks Indonesia, langkah tersebut juga bisa mendukung tercapainya pengurangan dan penyerapan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam dokumen Enhanced National Determined Contribution (NDC) dan agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Demikian mengemuka saat sesi panel bertajuk “Expanding FSC Certification in Indonesia” yang berlangsung saat General Assembly FSC di Bali, Senin 10 Oktober 2022.
FSC saat ini memang sedang mengkaji kebijakan Cut of Date 1994 seiring dengan adanya mosi 37/2021 yang diajukan oleh member secara luas.
Berdasarkan kebijakan tersebut, hutan tanaman yang dibangun dengan mengkonversi hutan alam setelah November 1994 tidak bisa mengikuti sertifikasi FSC.
Jika mosi 37/2021 disetujui, maka Cut of Date akan diubah menjadi 31 Desember 2020. Meski demikian, kebijakan itu juga akan diikuti dengan Remedy Framework yang akan mewajibkan konversi hutan alam diperbaiki (remediasi) secara lingkungan dan sosial.
Lolos atau tidaknya mosi 37/2021 akan ditentukan saat General Assembly di Bali yang akan berlangsung hingga 14 Oktober 2022 mendatang.
Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia Indroyono Soesilo menjelaskan pentingya kegiatan aforestasi dan reforestasi di konsesi Perizinan Berusaha Pemanfatan Hutan (PBPH) atau di Perhutanan Sosial (PS) dalam aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia dalam keterangan persnya di Bali Senin (10/10/2022).
“Aforestasi dan reforestasi, termasuk pembangunan hutan tanaman menjadi bagian dari aksi mitigasi untuk mencapai target yang tertuang dalam Enhanced NDC dan FOLU Net Sink,” kata dia.
Dalam dokumen Enhanced NDC, Indonesia menaikkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari 29% menjadi 31,89% tanpa syarat atau dari 41% menjadi 43,2% bersyarat. Sementara pada agenda FOLU Net Sink, Indonesia berkomitmen untuk mencapai kondisi dimana tingkat penyerapan GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) sudah seimbang atau lebih tinggi dibanding emisinya pada tahun 2030.
Menurut Indroyono, saat ini hutan tanaman Indonesia terhambat untuk bisa mengikuti sertifikasi FSC karena adanya kebijakan Cut of Date 1994. Pasalnya, kebanyakan hutan tanaman di Indonesia umumnya baru dibangun setelah batas waktu tersebut.
Indroyono menyatakan, jika kebijakan Cut of Date FSC diubah, maka akan lebih banyak hutan tanaman di Indonesia bisa mengikuti sertifikasi FSC sehingga bisa mendorong perbaikan pengelolaan hutan dan memberi insentif pasar. “Ini berarti akan lebih banyak aforestasi dan
reforestasi yang dilakukan,” katanya.
Indroyono menuturkan, pemerintah Indonesia saat ini begitu konsisten untuk melakukan upaya pencegahan deforestasi seperti sudah tertuang di dokumen Enhanced NDC dan FOLU Net Sink 2030. “Laju deforestasi di Indonesia sudah menurun sebanyak 80% pada tahun 2021-2022 jika dibandingkan dengan periode tahun 2010-2011,” katanya.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto yakin jika kebijakan Cut of Date menjadi 31 Desember 2020 maka akan semakin banyak unit manajemen hutan tanaman yang bisa disertifikasi FSC dan akan mendorong perbaikan pengelolaan hutan.
Saat ini dari sekitar 11 juta hektare konsesi PBPH hutan tanaman, hanya ada 4 unit manajemen yang tersertifikasi FSC dengan luas 358.761 hektare. “Areal PBPH dan PS adalah areal potensial untuk mendukung target FSC untuk memperluas areal hutan yang tersertifikasi,” katanya.
Purwadi juga mengatakan perubahan Cut of Date tetap akan menjadikan FSC kredibel karena pembatasan konversi hutan alam tetap ada sekaligus diiringi dengan kebijakan untuk melakukan remediasi yang berarti akan semakin mendorong perluasan restorasi dan konservasi hutan.
Purwadi menegaskan, Unit Manajemen yang telah memperoleh sertifikat SVLK dan FSC, berpeluang besar untuk memperluas pangsa pasar di tingkat global.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor) Herry Purnomo mendukung jika batas cut of date FSC menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah.
“Secara scientific standard seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standard yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya.
(lina)